Editorial

Perekat Sosial Itu Bernama Pancasila

Manusia diciptakan begitu unik, jika malaikat diciptakan dengan segala kebaikan yang melekat pada dirinya, dan setan diciptakan dengan segala keburukan yang melekat pada dirinya, maka manusia diciptakan dari unsur sifat keduanya. Di satu sisi manusia sebagai homo homini socius sebagai representasi sifat malaikat yang melekat pada manusia, namun di sisi lain manusia juga diciptakan sebagai homo homini lupus sebagai representasi sifat setan yang melekat pada manusia.

Realitas ini dalam hubungan sosial manusia, pada akhirnya sifat yang melekat pada manusia tersebut membentuk suatu proses hubungan sosial yang asosiatif dan disosiatif. Hubungan sosial asosiatif merupakan konsekuensi dari sifat homo homini socius manusia, yang ditandai dengan keinginan untuk hidup dalam harmoni sosial. Munculah proses-proses integrasi sosial, seperti akulturasi, asimilasi, kooperasi, dan akomodasi. Sebaliknya konsekuensi dari sifat  homo homini lupus manusia tidak dapat dihindari munculnya hubungan sosial disosiatif, yang ditandai dengan sifat-sifat keserakahan manusia yang terjerembab dalam disintegrasi sosial, seperti munculnya kontravensi, kompetisi, dan konflik sosial.

Menarik untuk dikaji dalam konteks hubungan sosial berbangsa dan bernegara pada masyarakat Indonesia. Jika melihat realitas sosio-kultural bangsa Indonesia tentu secara teoritis potensi hubungan sosial disosiatif lebih besar. Kenapa demikian?, karena semakin heterogen suatu masyarakat, semakin sulit untuk melakukan proses integrasi. Bayangkan saja, migrasi ras dari Yunan dan Indo Cina, menjadikan masyarakat Indonesia terbagi atas empat ras yaitu ras Proto Melayu, ras Deutro Melayu, ras Melanesoid, dan ras Negroid. Terpisahnya paparan Sunda dengan paparan Sahul, menjadikan masyarakat Indonesia terpisah secara geografis dalam kepulauan, yang kemudian mengembangkan kebudayaannya sendiri-sendiri, munculah etnis-etnis yang berbeda. Ekspansi agama dari anak benua India, Jarizarah Arab, Eropa, serta kepercayaan-kepercayaan lokal, menyumbang keberagaman agama pada masyarakat Indonesia.

Heterogenitas sosial masyarakat Indonesia ini tentunya sangat memiliki potensi hubungan disosiatif yang lebih besar. Munculnya rasa ketidaksukaan, dan permusuhan yang tersembunyi (kontravensi), berkembang kepada kompetisi antar kelompok atas eksitensinya, dan yang paling mengerikan adalah munculnya konflik sosial yang disertai dengan kekerasan. Sebagaimana yang terjadi di India Raya terpisah menjadi India Hindustan, Pakistan, dan Bangladesh karena sentimen agama, etnisitas, dan ras. Marginalisasi disertai kekerasan pada kelompok Rohingnya di Myanmar karena tidak diakui sebagai bagian dari masyarakat Myanmar karena berbeda secara ras, etnis, dan agama.

Namun kita patut bersyukur, ternyata masyarakat Indonesia memiliki kemampuan kohesi sosial yang arif dalam mengatasi potensi-potensi disintegrasi tersebut. Masyarakat Indonesia memiliki kultur perekat sosial yang arif dalam penyelesaian masalah sejak dulu kala. Pertentangan kaum Padri dan kaum Adat pada masyarakat Minang di Pagaruyung, mampu diselesaikan dengan perekat sosial, “Adat Bersandi Syara’, Syara’, Bersandi Kitabullah”, yang menciptakan sistem sosial yang seimbang dalam kepemimpinan Rajo Nan Tigo Selo, yang terdiri dari Raja Alam sebagai pemimpin tertinggi, Raja Adat sebagai pemimpin adat, dan Raja Ibadat sebagai pemimpin agama. Pada masyarakat Islam Jawa, ketika terjadi pertentangan antara adat lama dan baru, memunculkan perekat sosial,  al-­muhafazhatu ‘alal qadimis shalih wal akhdu bil jadidil ashlah, serta pertentangan kaum Siwa dan Budha, memunuculkan perekat sosial, Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa. Demikian kemampuan kohesi sosial mampu menciptakan hubungan asosiatif. Mampu menegosiasi diri, meletakkan egosentris demi kepentingan bersama.

Kemampuan kohesi sosial masyarakat Indonesia tersebut mengkristal dalam perekat sosial lebih besar, yang kemudian disebut sebagai Pancasila. Bangsa ini pernah disatukan dalam proses integrasi koersif oleh kolonial Belanda, yang kemudian menjadi sebuah negara koloni Belanda yang disebut Hindia Belanda. Namun pada akhirnya karena proses integrasi dilakukan secara paksa (koersif), tidak dari niat tulus dari bangsa ini sendiri maka ketika kekuatan yang memaksa itu melemah, bubarlah Hindia Belanda, hal itu juga yang terjadi pada Uni Soviet. Berbeda dengan Negara Republik Indonesia yang mampu bertahan sampai saat ini. Oleh sebab keinginan tulus dari segenap anak bangsa, yang terdiri dari bangsa-bangsa yang dengan tulus bersumpah untuk melahirkan suatu bangsa baru yang menyatukan bangsa-bangsa di Nusantara ini, maka terwujudlah Negara Kesatuan Republik Indonesia ini, dengan perekat sosial Pancasila.

Meski memiliki kemampuan kohesi sosial yang arif, hal ini bukan berarti masyarakat Indonesia terhindar dari hubungan sosial disosiatif tersebut. Karena hubungan sosial disosiatif merupakan hukum sosial yang tidak dapat dihindari. Oleh karenanya kita sebagai bangsa yang besar harus menyadari akan adanya potensi-potensi disintegrasi tersebut. Maka dari itu kita harus bersama-sama memegang teguh Pancasila sebagai Ideologi yang menaungi kehidupan kita dalam berbangsa dan bernegara. Selamat hari lahir Pancasila.

Ditulis oleh Puji Laksono

(Pimpinan Redaksi Bidik)