Opini

Sumbangsih Turats dalam Peradaban

Farida Ulvi Na’imah
Penulis adalah Wakil Dekan Fakultas Syariah IKHAC Mojokerto

(Menyambut Perhelatan Musabaqah Qiraa’til Kutub Nasional 2023)

Tidak bisa dipungkiri bahwa pesantren merupakan bagian dari miniatur Indonesia. Bangsa Indonesia tidak cukup dikelola oleh orang-orang pintar. Lebih dari itu butuh orang-orang yang memiliki komitmen, berintegritas, beriman kuat, serta berakhlak mulia. Negara Indonesia adalah warisan para ulama dan santri pejuang. Para ulama dan santri itu, bukan saja terlibat aktif dalam perjuangan fisik tapi juga meletakkan dasar negara Indonesia.

Dalam sejarahnya, pesantren menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari sejarah bangsa. Pesantren telah memainkan perannya sebagai lembaga pendidikan lebih awal dengan konsep klasikal. Para santri tidak hanya digembleng tentang urusan agama saja melainkan juga dibekali kesiapan kehidupan lain seperti kemandirian ekonomi, bersosial yang baik ketika kelak terjun di masyarakat, melek tradisi dan sebagainya. Namun, membekali mereka dengan urusan agama masih tetap mendominasi, tujuannya agar pondasi pemahaman syari’at tertancap kuat pada pribadi mereka. Karenanya, kitab-kitab kuning menjadi rujukan utama yang otoritatif di kalangan santri.

Kitab kuning atau disebut kitab klasik/kitab gundul merupakan rujukan yang berisi ragam kajian seputar Islam yang berisi tulisan-tulisan berbahasa Arab tanpa terjemah dan harakat (gundul). Dikaji melalui penjelasan seorang Kiai, Ustadz dan lainnya, atau bisa juga dipelajari melalui musyawarah bersama. Karenanya, modal kepiawaian gramatikal bahasa Arab sangat dibutuhkan dalam memahami kitab kuning ini. Belajar kitab kuning ini secara tidak langsung sudah menjadi tradisi di kalangan pesantren. Hal ini juga dilakukan sebagai upaya kontekstualisasi kitab kuning dengan realitas yang terjadi saat ini. Apakah ia masih dianggap relevan atau tidak? Realitanya, kitab kuning dipandang masih relevan, meskipun pada perkembangannya para santri tidak lagi sekedar bertumpu pada metode qawly (kemampuan melacak dan penguasaan dalam memahami nash-nash yang sudah berupa produk yang dirumuskan para Ulama), tetapi juga menerapkan metode manhajy (pola metodologis dalam memecahkan masalah dengan berpedoman pada manhaj ijtihad para Ulama), khususnya dalam masalah-masalah hukum.

Demi memastikan kebenaran bacaan, arti dan pemahamannya, maka salah satu cara yang efektif adalah melalui sorogan. Sorogan adalah model pembelajaran di mana murid membaca teks-teks Arab dihadapan gurunya secara face to face disertai artikulasi yang jelas. Jika ada kekeliruan, maka guru yang menyimak bisa langsung mengoreksinya. Dengan cara tersebut, murid akan tahu dan mengingat letak kesalahannya serta mengerti bagaimana cara membaca dan memahami dengan benar.  Karena kitab-kitab kuning tersebut merupakan marwah seorang santri, mengkajinya juga dalam rangka mengokohkan mata rantai sanad keilmuan dengan para Ulama terdahulu, kiranya tradisi ini perlu dilestarikan. Di kalangan pengkaji turats, sanad merupakan bagian dari agama, karena jika tidak ada sanad, siapa saja bisa berkata sesuai yang dia inginkan.

Perlunya pengkajian atau pembelajaran kitab kuning adalah: (1) sebagai pengantar bagi langkah ijtihad dan pembinaan hukum Islam kontemporer, (2) sebagai materi pokok dalam memahami, menafsirkan dan menerapkan bagian hukum positif yang masih menempatkan hukum Islam atau madzhab fikih tertentu sebagai sumber hukum, baik secara historis maupun secara resmi, (3) sebagai upaya untuk memenuhi kebutuhan umat manusia secara universal dengan memberikan sumbangan bagi kemajuan ilmu hukum sendiri melalui studi perbandingan hukum (dirasah al-qanun al-muqaran), dan (4) sesuai dengan tujuan pengajian kitab-kitab kuning adalah untuk mendidik calon-calon ulama. Dari sinilah sumbangsih kitab kuning dalam peradaban.

Dalam rangka melestarikan kultur pesantren dengan kajian kitab kuningnya, upaya yang bisa dilakukan adalah dengan menggelar kompetisi Musabaqah Qira’ah al-Kutub (MQK) antar santri. Tujuannya adalah upaya menyambung dan melestarikan tradisi keilmuan pesantren di kalangan generasi muda bangsa untuk meningkatkan literasi melalui baca kitab. Selain itu, dengan mengkaji kitab-kitab tersebut, kita berharap mendapatkan limpahan keberkahan dari sang pengarang. MQK juga dipandang mampu mendorong dan meningkatkan perhatian serta kecintaan para santri terhadap kitab kuning, mendalami pengetahuan agama Islam dari kitab kuning, mempererat silaturahim antar pesantren dan mencetak ulama-ulama baru. Kita berharap berkembangnya peradaban dan dalam beragama, bangsa kita terbiasa dan memiliki literasi tinggi. Bukan hanya mendapatkan sumber instan qala wa qila, tetapi benar-benar dengan budaya literarisi yang mengakar, yang mampu memberikan sumbangsih besar dalam peradaban dan kerukunan di Indonesia, sesuai tema MQKN 2023 ini