Menolak Khilafah, Membumikan Pancasila

Puji Laksono
(Peserta PKDP 2023 PTP UIN SATU Tulungagung-IKHAC Mojokerto)
Khilafah merupakan suatu pemikiran politik yang bercita-cita mewujudkan suatu konsep ketatanegaraan yang berdasarkan syariat Islam. Konsep pemikiran tersebut terinspirasi dari sistem kekhalifahan di wilayah Timur Tengah era Khalifah Khulafaurrasyidin hingga Khalifah Turki Ustmani. Setelah keruntuhan Turki Ustmani hingga saat ini memang tidak ada lagi suatu sistem negara khilafah dunia secara legal formal. Negara-negara yang dulu menjadi bagian dari kekhilafahan tersebut di Timur Tengah, saat ini sudah menjadi negara-negara modern yang memiliki legal formal masing-masing.
Meski negara kekhilafahan sudah berakhir, namun pemikiran tentang berdirinya suatu negara yang menyatukan negara-negara dengan mayoritas berpenduduk Islam masih terus eksis hingga saat ini. Muncul gerakan-gerakan yang memimpikan suatu sistem ketatanegaraan yang mengendalikan umat Islam di seluruh dunia. Mereka secara tegas menolak sistem negara modern terutama dengan sistem demokrasi. Mereka berhasrat menyatukan wilayah Islam di seluruh dunia dengan sistem tunggal khilafah atas dasar sistem Ahlul Halli wal Aqdli.
Munculnya gerakan Hizbut Tahrir (HT), Islamic State of Iraq and Syiria (ISIS), Al Qaeda, Taliban, Jamaah Islamiyah, Tandhim al-Jihad, dan ISIS. Sebagian menempuh jalur politik praktis seperti Ikhwan al-Muslimin, dan gerakan Islam lainnya yang memperjuangkan ideologi Islam sebagai ideologi negara, menjadi ancaman bagi perdamaian dunia. Padahal negara-negara Islam di dunia sudah disatukan dalam forum kolegial Organisasi Konferensi Islam (OKI), yang tentu lebih relevan dengan kondisi dunia modern saat ini. Yang mana wilayah-wilayah dunia dengan mayoritas penduduk Islam sudah menjadi negara-negara dengan kedaulatannya masing-masing.
Indonesia sendiri tidak luput dari sasaran gerakan khilafah dunia. Munculnya gerakan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang sempat eksis di Indonesia, yang kemudian dibubarkan pada 19 Juli 2017. Meski sudah dibubarkan, gerakan-gerakan bawah tanah mereka masih ada dalam masyarakat. Seperti kasus penangkapan pimpinan tertinggi Khilafatul Muslimin, Abdul Qadir Baradja di Lampung pada 2022 lalu, menjadi bukti bahwa aktivitas gerakan khilafah merupakan realitas nyata dalam masyarakat, bukan isapan jempol yang sering dinarasikan untuk menyudutkan umat Islam. Baradja ditangkap karena menjadi inisiator serta sponsor konvoi kendaraan berbendera khilafah. Gerakan seperti ini tentu bukan satu-satunya yang muncul di permukaan. Disinyalir gerakan mereka secara diam-diam masih terus berjalan.
Konsep pemikiran khilafah tentu sudah tidak relevan di era saat ini. Negara-negara dengan mayoritas penduduk Islam sudah menjadi negara-negara merdeka yang memiliki kedaulatannya masing-masing. Termasuk Indonesia yang menjadi sasaran gerakan khilafah tersebut. Gerakan mendirikan khilafah yang juga masuk ke Indonesia, tentunya juga mengancam eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Indonesia memang negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia, namun komposisi berdirinya negara Indonesia tidak hanya didominasi muslim. Sejarah mencatat, ketika perumusan ideologi pancasila dalam piagam Jakarta, yang awalnya menyematkan tujuh kata “Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”, dihapus demi mengakomodir keberadaan sebagian masyarakat Indonesia yang non muslim. Dengan mempertimbangkan persatuan dan kesatuan, serta keberlanjutan Indonesia ke depan, kelompok muslim dengan berbesar hati sepakat untuk menghapusnya. Karena kita tidak bisa mengabaikan saudara-saudara kita sebangsa setanah air yang non muslim. Seperti keberadaan mayoritas Hindu di Bali, mayoritas Kristen di Papua dan wilayah mayoritas non muslim lainnya di Indonesia.
Apakah dengan penghapusan tujuh kata tersebut berarti negara Indonesia menjadi negara yang anti Islam? tentu tidak!. Karena sila pertama dalam pancasila yang berbunyi, “Ketuhanan Yang Maha Esa”, merupakan suatu nafas berdirinya suatu negara dengan dasar ideologi ketuhanan. Yang artinya setiap Warga Negara Indonesia merupakan individu theisme bukan sekular ataupun atheisme, manusia yang percaya terhadap Tuhan YME dengan menjalankan ajaran agama menurut kepercayaan masing-masing. Salah satunya adalah umat Islam, yang dengan leluasa menjalankan syariat Islam dalam konteks keindonesiaan. Di sinilah letak kesaktian pancasila sebagai jalan tengah di antara heterogenitas kultural di Indonesia, termasuk agama.
Konsep khilafah sendiri dalam ajaran Islam bukanlah suatu yang harus disakralkan dan dilakukan dalam wujud sistem negara. Khilafah merupakan hirasatuddin wa siyasatuddunya, yakni bagaimana sebagai seorang muslim memelihara agama dan mengatur dunia. Dan tidak ada rincian kongkret bentuk, nama, dan sistem ketatanegaraan tertentu. Hal ini berarti hakikat dari konsep khilafah tersebut adalah keterjaminan eksistensi agama dan kemaslahatan umatnya. Dan ini sudah menjadi nafas pancasila yang menjadi dasar negara Indonesia. Dengan demikian antara keislaman dan keindonesiaan tidak ada kontradikasi.
Dengan komposisi masyarakat yang heterogen ini, semestinya kita patut bersyukur, ternyata masyarakat Indonesia memiliki kemampuan kohesi sosial yang arif dalam mengatasi potensi-potensi disintegrasi di Indonesia. Masyarakat Indonesia memiliki kultur perekat sosial yang arif dalam penyelesaian masalah sejak dulu kala yang kemudian terkristalkan dalam pancasila. Pertentangan kaum Padri dan kaum Adat pada masyarakat Minang di Pagaruyung, mampu diselesaikan dengan perekat sosial, “Adat Bersandi Syara’, Syara’, Bersandi Kitabullah“, yang menciptakan sistem sosial yang seimbang dalam kepemimpinan Rajo Nan Tigo Selo, yang terdiri dari Raja Alam sebagai pemimpin tertinggi, Raja Adat sebagai pemimpin adat, dan Raja Ibadat sebagai pemimpin agama. Pada masyarakat Islam Jawa, ketika terjadi pertentangan antara adat lama dan baru, memunculkan perekat sosial, al-muhafazhatu ‘alal qadimis shalih wal akhdu bil jadidil ashlah, serta pertentangan kaum Siwa dan Budha, memunuculkan perekat sosial, Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa. Demikian kemampuan kohesi sosial mampu menciptakan hubungan asosiatif. Mampu menegosiasi diri, meletakkan egosentris demi kepentingan bersama. Hidup berdampingan dengan damai.
Maka dari itu jika pemikiran khilafah dipaksakan oleh kelompok-kelompok pendukung gerakan ini, maka akan berakibat pada disintegrasi sosial, memecah belah persatuan, dan mengancam eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Pancasila sudah menjadi suatu ideologi yang terbukti dan teruji mampu menyatukan dan mengakomodasi perbedaan dalam masyarakat Indonesia. Oleh karena itu munculnya gerakan-gerakan khilafah harus kita tolak, dengan terus membumikan pancasila dalam setiap deru langkah kehidupan kita berbangsa dan bernegara. Perkuat komitmen kebangsaan, dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Dengan demikian umat Islam akan mewujudkan nilai-nilai keislaman ke dalam perdamaian, pembangunan dan kemajuan bersama.