Mencintai Tanah Air dengan Busana Adat Nusantara

Jhota Bangkit Andaka
(Guru Sejarah di MAN 1 Magetan)
Arus globalisasi semakin tidak terbendung seiring dengan semakin pesatnya perkembangan teknologi informasi dewasa ini. Di satu sisi fenomena ini diharapkan dapat menberikan dampak positif yakni semakin meningkatnya literasi digital masyarakat, namun di sisi lain juga dapat berdampak negative, yaitu kekhawatiran akan semakin lunturnya nilai-nilai budaya ke-Indonesia-an, mengingat banyaknya budaya-budaya dari luar yang masuk melalui media digital. Tentunya diperlukan “filter” berupa penguatan nilai-nilai ke-Indonesia-an, agar masyarakat tidak mudah menelan bulau-bulat segala budaya luar yang masuk melalui media digital.
Sejak beberapa tahun yang lalu, sebenarnya sudah ada upaya untuk menguatkan nilai-nilai budaya bangsa yang dinilai mulai luntur tersebut. Suatu upaya yang tampaknya sederhana namun dapat memberikan edukasi untuk lebih mencintai dan bangga terhadap budaya bangsa, yaitu dengan mewajibkan pegawai mengenakan busana adat Nusantara di kantor pada hari-hari tertentu. Dimulai dari beberapa instansi pemerintahan di beberapa daerah, kebijakan ini saat ini sudah banyak diterapkan di seluruh Indonesia, baik di instansi pemerintah maupun swasta. Misalnya, kewajiban mengenakan busana adat Jawa gagrag Yogyakarta bagi ASN di seluruh Provinsi DIY setiap Kamis Pahing, juga kewajiban mengenakan penadon (busana khas Warok) bagi ASN di Ponorogo pada pelaksanaan Grebeg Sura. Langkah ini pun semakin diperkuat dengan tradisi mengenakan pakaian adat Nusantara oleh Presiden Joko Widodo setiap peringatan HUT Proklamasi. Seperti yang kita tahu, Presiden Jokowi selalu mengenakan busana adat dari suatu daerah, masyarakat dan warganet pun penasaran dengan busana yang dikenakan presiden tersebut, mereka pun mencari tahu tentang busana apa dan dari daerah mana yang dikenakan presiden tersebut, serta apa makna filosofisnya. Wawasan masyarakat terhadap busana adat Nusantara pun semakin bertambah mengingat setiap tahun presiden selalu mengenakan pakaian yang berbeda-beda.
Selain di instansi pemerintah dan swasta, kebijakan semacam ini juga sudah mulai banyak diterapkan di sekolah-sekolah. Hal ini sebenarnya lebih krusial untuk dilakukan, mengingat siswa sekolah merupakan generasi muda calon penerus bangsa. Pada merekalah harapan akan masa depan Bangsa Indonesia yang lebih baik disandarkan, karena semaju dan secerdas apapun generasi muda, tidak akan memberikan kontribusi bagi bangsa dan negara apabila mereka tidak memiliki kecintaan pada Tanah Airnya. Dengan mewajibkan siswa mengenakan pakaian adat Nusantara pada hari-hari tertentu, diharapkan dapat menambah pengetahuan tentang busana yang mereka kenakan, yang selanjutnya diharapkan mereka mampu menelaah nilai-nilai filosofisnya, serta menumbuhkan kecintaan dan kebanggaan terhadap keragaman budaya Nusantara.
Di madrasah tempat penulis mengajar, sepanjang tahun 2023 ini telah dua kali diterapkan tentang pemakaian pakaian adat tersebut, yaitu pada upacara peringatan Hari Amal Bhakti (HAB) Kementerian Agama RI pada 3 Januari dan saat upacara peringatan Hari Pendidikan Nasional pada 2 Mei. Walaupun diwajibkan mengenakan pakaian adat, namun para guru dan siswa tetap dibebaskan memilih pakaian daerah mana yang akan dikenakan. Sehingga pada saat sesi foto bersama, tampak sekali bahwa seakan-akan madrasah menjadi mininatur Indonesia dengan menampilkan keragaman busana adatnya, menegaskan keniscayaan akan ke-bhinneka-an yang dimiliki bangsa ini.
Pada peringatan HAB Kemenag RI, penulis mengenakan pakaian penadon, busana khas Warok Ponorogo, lengkap dengan udeng hitam dan tali besar berwarna putihnya. Dari busana tersebut penulis belajar tentang makna filosofisnya, bahwa busana tersebut mencerminkan kebijaksanaan, keberanian, serta jiwa ksatria yang dimiliki oleh para Warok. Kemudian pada saat peringatan Hardiknas, penulis memilih untuk mengenakan pakaian adat Jawa gaya Yogyakarya, lengkap dengan keris yang terselip di belakang pinggang, yang mengandung makna kesopanan dan tata krama.
Penulis sangat mengapresiasi kebijakan instansi dan sekolah yang mewajibkan pemakaian busana adat Nusantara pada hari-hari tertentu sebagai upaya untuk mengenalkan kekayaan dan keragaman budaya Nusantara di tengah derasnya arus globalisasi dan informasi. Kebijakan tersebut juga dinilai relevan untuk menunjang pembelajaran sejarah yang penulis ampu. Dalam Kurikulum Merdeka, tujuan pembelajaran sejarah lebih mengedepankan pada pengembangan keterampilan berpikir sejarah (historical thingking skill) berupa kecakapan berpikir secara kronologis, sinkronis, diakronis, kausalitas, imajinatif, kreatif, kritis, reflektif, kontekstual, multiperspektif, perkembangan, kesinambungan, pengulangan, dan perubahan dalam kehidupan manusia. Kurikulum Merdeka juga memberi keleluasaan bagi guru untuk menerapkan model pembelajaran, misalnya, siswa yang biasanya hanya melihat cara berpakaian orang-orang di masa lalu melalui foto di buku sejarah, dengan mengenakan busana adat, guru dapat mengarahkan mereka untuk dapat berimajinasi seolah kembali ke masa lalu dan merasa terlibat dalam peristiwa sejarah. Terlebih jika guru kemudian meminta siswa untuk merekontruksi suatu peristiwa sejarah dengan pakaian yang mereka kenakan dan merekamnya sehingga menjadi sebuah konten video rekonstruksi sejarah, maka pembelajaran sejarah akan menjadi lebih menarik dan jauh dari kata membosankan.
Walaupun tampak sepele, namun sesungguhnya busana adat tidak hanya sekadar pakaian penutup tubuh, namun terkandung makna filosofis dan ajaran moral di dalamnya. Dengan mengenakan pakaian adat Nusantara, diharapkan pemakainya, khususnya generasi muda semakin tumbuh kecintaan dan kebanggaannya terhadap budaya Nusantara. Sehingga di masa depan diharapkan selain memiliki kemajuan dan kecerdasan dalam berinovasi, mereka juga tetap tidak lupa akan jati dirinya sebagai Bangsa Indonesia.