Eksodus Rohingnya (Dilema Kemanusiaan dan Penolakan Publik)

Gelombang eksodus etnis Rohingya di Indonesia telah memicu kontroversi di publik negeri ini. Sebagai negara yang menjunjung tinggi nilai kemanusiaan, yang tersemat dalam sila ke-2 Pancasila, Indonesia memang perlu menyikapi persoalan tersebut secara bijak.
Jika ditelisik ke belakang faktor utama penyebab eksodus tersebut adalah semenjak negara Myanmar menerbitkan Burma Citizenship Law 1982. Dalam Undang-Undang itu disebutkan jika etnis Rohingya tidak diakui sebagai salah satu etnis mayoritas maupun etnis minoritas yang ada di Myanmar. Pasalnya, etnis Rohingya dianggap sebagai imigran gelap dari Benggala (Bangladesh) semasa kolonialisme Inggris. Mereka dibawa oleh kolonial Inggris, dan selama itu menguasai sektor ekonomi di Myanmar (saat itu bernama Burma). Namun semenjak Myanmar merdeka, kondisi menjadi berubah.
Semenjak itu etnis Rohingya mengalami diskriminasi secara struktural maupun kultural. Hingga akhirnya terjadi persekusi atas hak asasi etnis Rohingya, yang membuat mereka mengalami penindasan, termasuk hak-hak sipil, ekonomi hingga sosial. Dengan adanya penindasan tersebut, mereka terperangkap dalam cengkeraman kemiskinan, keterbelakangan hingga keputusasaan. Hal ini, membuat etnis Rohingnya memutuskan untuk pergi ke beberapa negara tetangga dengan harapan mereka dapat melanjutkan kehidupan di negeri tujuan.
Indonesia sebagai salah satu negara tujuan mereka berlabuh pada akhirnya dihadapkan pada problem dilematis kemanusiaan. Pasalnya publik Indonesia cenderung menolak kehadiran etnis Rohingya. Karena kekhawatiran akan berdampak sosial, politik, ekonomi, hingga budaya. Masyarakat Indonesia mengkhawatirkan adanya etnis Rohingya di tanah air akan menjadi beban negara. Masyarakat menganggap perilaku buruk warga Rohingnya akan memicu kriminalitas dan kesenjangan sosial lebih meningkat. Selain itu, karenanya banyaknya etnis Rohingya yang datang di tanah air dikhawatirkan akan “merebut” tanah yang telah ditinggali masyarakat sekitar seperti kasus perselisihan yang berkepanjangan antara Israel dan Palestina.
Sejumlah kalangan masyarakat mengemas penolakan Rohingya dengan narasi kebencian yang berujung pada tindak intimidasi yang akhirnya dengan cepat meluas melalui media sosial. Hal tersebut dapat terjadi karena adanya kecemburuan sosial atas perlakuan Pemerintah Indonesia kepada etnis Rohingya yang seakan-akan lebih dipedulikan dibandingkan masyarakat Indonesia sendiri. Di sisi lain, dapat dikatakan bahwa etnis Rohingya yang memasuki wilayah teritorial Indonesia menggunakan kapal laut bukanlah pengungsi, melainkan imigran gelap.
Menteri Koordinator Bidang Kemanusiaan, Hukum dan Keamanan, Mahfud MD, menegaskan bahwa tidak ada anggaran APBN untuk etnis Rohingya. Indonesia juga tidak turut meratifikasi konvensi Internasional 1951 tentang Pengungsi. Namun, konstitusi negara Indonesia yang menjunjung tinggi nilai kemanusiaan membuat Indonesia juga memiliki kewajiban moral untuk turut berkontribusi menangani masalah etnis Rohingya yang terkatung-katung datang ke Indonesia. Dengan demikian, pemerintah akan memberikan bantuan kepada etnis Rohingya. Tanpa harus diminta, pemerintah juga harus segera melakukan koordinasi dengan pihak internasional untuk menyelesaikan masalah ini.

UNHCR (United Nations High Commissioner for Refugees) atau Badan Pengungsi Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) memastikan bahwa dana yang digunakan untuk kepentingan etnis Rohingya tidak didapat dari APBN maupun APBD. Pembiayaan keperluan Rohingya sepenuhnya dicover oleh UNHCR dan mitra kerja yang bersangkutan sehingga kedatangan Rohingya tidak akan terlalu membebani negara dari faktor pendanaan. Namun, apabila negara dan masyarakat ingin memberikan donasi atau bantuan kepada Rohingya, pihak UNHCR akan menerima dengan tangan terbuka. Sayangnya, sambutan berbeda didapatkan dari masyarakat Indonesia yang mengecam kedatangan Rohingya akan memberatkan negara ini.
Di sisi lain, banyak media yang menarasikan perilaku kurang bersyukur yang dilakukan oleh warga Rohingya, terlihat dari video yang beredar, mereka membuang sembako dan bungkusan makanan yang diberikan dengan dalih kekecewaan karena telah ditolak kedatangannya di Indonesia. Perilaku kurang bersih dengan membuang sampah sembarangan juga membuat masyarakat Indonesia semakin enggan untuk membantu mereka.
Selama ini citra Indonesia merupakan salah satu negara paling dermawan di dunia. Masyarakat dengan kepedulian sosial yang tinggi membuat beberapa konflik di negara lain bisa membuat iba masyarakat Indonesia. Seperti konflik kemanusiaan antara Israel dan Palestina, dimana Palestina mendapatkan simpati dan empati yang luas dari masyarakat Indonesia. Terlepas dari segi agama, masyarakat Indonesia sepakat bahwa nasib Palestina memang perlu diperjuangkan agar terbebas dari penindasan Israel.
Namun, sikap masyarakat Indonesia terkesan berbeda dalam menyikapi masalah kemanusiaan Palestina dan etnis Rohingya ini. Banyak kalangan masyarakat yang enggan membantu warga Rohingya. Pasalnya, masyarakat lebih dulu terhasut oleh tersebarnya disinformasi maupun berita bohong yang memperburuk citra etnis Rohingya. Dengan berlandaskan sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, seharusnya masyarakat lebih peka terhadap kemanusiaan dan mampu menyisihkan ego untuk membantu sesama sembari menemukan solusi bersama.
Sempat mencuat ke publik perihal solusi dari masalah ini adalah menampung etnis Rohingya di Pulau Galang Riau. Opsi ini diungkapkan oleh Wakil Presiden Ma’aruf Amin. Namun, justru ditanggapi negatif oleh publik Indonesia. Rupanya masyarakat Indonesia lupa bahwa dahulu Indonesia sudah pernah mengampung 250.000 pengungsi perang Vietnam di pulau tersebut. Hingga akhirnya masalah tersebut terpecahkan dengan diterimanya suaka pengungsi Vietnam dari negara-negara yang meratifikasi konvensi PBB 1951 dan sebagian kembali ke Vietnam. Dan selama itu tidak pernah terjadi perebutan wilayah teritorial Indonesia oleh pengungsi Vietnam. Seperti yang dikhawatirkan masyarakat Indonesia merespon eksodus Rohingnya saat ini.
Solusi masalah lainnya adalah tekanan Internasional terhadap pemerintah Myanmar untuk menghentikan tindakan pengusiran terhadap etnis Rohingya. Bagaimana pun pemerintah Myanmar penyebab permasalahan ini, yang harus bertanggung jawab. Meskipun etnis Rohingya termasuk etnis pendatang, seharusnya semenjak kemerdekaannya, Myanmar harus mengakui etnis Rohingya sebagai warganegaranya. Dengan sumpah setia pada negara. Karena etnis Rohingya sudah beranak pinak dari zaman kolonialisme Inggris, atau bahkan jauh sebelumnya. Seperti etnis Jawa yang diakui di Suriname, etnis Arab ataupun Tionghoa yang diakui di Indonesia.
Etnis Rohingya sudah beberapa generasi, lahir dan tumbuh di Myanmar. Artinya tanah air mereka adalah Myanmar, seperti tanah air keturunan Jawa di Suriname ya Suriname, tanah air keturunan Arab dan Tionghoa di Indonesia ya Indonesia. Andaikan saja, jika para etnis keturunan diusir, lalu mau ke mana mereka?, di negara leluhur mereka?, tentu tidak mungkin.(afr/pl)