Editorial

Menatap Lautan Indonesia

Menatap Lautan Indonesia
(Refleksi Hari Laut Dunia)

Ombak yang membasahi pantai selalu membawa rindu dengan kecupan lembut pasirnya. Belai mesra rambut nyiur, melambai dengan karangan indah bunga-bunga pesona. Terlihat di kejauhan hamparan biru laut negeri ini, dengan nelayan-nelayan yang gigih menebarkan jalanya. Berharap laut akan bermurah hati memberikan rizki tangkapan ikan.

Laut Indonesia yang luas, mendominasi 75% wilayah negeri ini. Yang seharusnya berperan besar dalam perekonomian Indonesia. Dari data Bank Dunia merilis sektor perikanan senilai 27 miliar dollar AS, menghidupi 7 juta tenaga kerja, dan mememenuhi lebih dari 50 persen kebutuhan protein hewani di Indonesia. Namun menjadi sebuah ironi bagi negeri maritim ini, yang seakan tak mampu merengkuh kesejahteraan darinya.

Menko Polhukam, Mahfud MD dalam sebuah kesempatan di forum Masyarakat Ilmu Pemerintahan (MIPI), mengungkapkan kelemahan kebijakan laut teritorial di Indonesia (25/05/23). Mahfud MD mengatakan bahwa hampir setiap hari kapal asing menyelundup dan mencuri ikan-ikan yang berada di laut teritorial Indonesia. Menurutnya Indonesia membiarkan kapal asing itu hanya lewat begitu saja setalah mencuri ikan, bukan karena takut. Melainkan, karena tidak dapat mengatasi hal tersebut. Mahfud menyebut, faktor kelemahan kita juga terdapat pada teknis, yakni peralatan yang kurang mendukung. Di sini nampaknya penguasa tak menguasai lapangan, penguasa tak menguasai 75% wilayah kekuasaanya.

Identitas Indonesia sebagai negara maritim memang sudah dilunturkan sejak datangnya VOC, sejak wilayah pesisir direbut dengan tipu daya maupun secara fisik. Miris memang ketika Amangkurat II menyerahkan pesisir utara kepada VOC. Mengkerdilkan kejayaan nenek moyangnya dari zaman Majapahit hingga Demak sebagi bangsa Maritim. Perlahan, kolonial Belanda mendesak masyarakat Indonesia ke pedalaman. Karena kolonial sadar bahwa lautan adalah kunci. Itulah sebabnya Rusia mati-matian merebut Crimea dari Ukraina, serta RRC bersikeras mengklaim Laut China Selatan sebagai bagian dari teritorinya. Laut tidak sekedar genangan air, tetapi ia adalah ihwal geopolitik yang bermuara pada tujuan ekonomis.

Berlanjut di era Orde Baru, identitas kemaritiman Indonesia pun cenderung diabaikan. Penguasa waktu itu lebih fokus pada pembangun daratan, dan membelakangi lautan. Tidak ada konsep pembangunan dengan” Wawasan Nusantara Maritim”, adanya “Wawasan Nusantara” saja. Sehingga tidak heran jika Mahfud MD menyebut bahwa kapal Patroli Laut buatan tahun 1945 masih digunakan, karena alokasi pembangunan lebih ditujukan ke Darat.

Masalah laut Indonesia tidak sekedar pengamanan dari Ilegal fishing kapal asing saja. Masih mengutip data potensi ekonomi dari Bank Dunia, bahwa tantangan bagi ekosistem laut dan pesisir, yang apabila tidak dikelola secara berkelanjutan, dapat mengurangi potensi ekonomi laut Indonesia. Sekitar 38 persen dari ikan ditangkap melebihi kemampuan ekosistem untuk mengembalikan jumahnya (overfishing), sekitar sepertiga dari terumbu karang yang berharga bagi Indonesia berada dalam kondisi kurang baik, ekosistem pesisir yang penting, seperti mangrove, mengalami pengurangan yang besar. Sementara sampah laut menimbulkan permasalah tersendiri. Indonesia merupakan salah satu negara penyumbang sampah terbesar di laut. Dikutip dari situs Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), sampah plastik menjadi komponen terbesar sampah laut.

Menatap laut Indonesia dengan segala potensi dan tantanganya menjadi PR bagi pemerintah dan kita bersama. Maka, perlunya fokus pembangunan dengan ekonomi laut berkelanjutan, dengan didukung infrastruktur, perangkat pengamanan yang memadai, serta kesadaran akan lingkungan laut, diharapkan akan mewujudkan masyarakat pesisir yang sejahtera, yang akan berdampak pada kesejahteraan nasional. Sejalan dengan visi Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia. Sebuah visi yang bertujuan menjadikan Indonesia sebagai negara maritim yang besar, kuat, dan makmur melalui pengembalian identitas Indonesia sebagai bangsa maritim, pengamanan kepentingan dan keamanan maritim, memberdayakan potensi maritim untuk mewujudkan pemerataan ekonomi Indonesia. Sehingga slogan Jalesveva Jayamahe, bukan hanya slogan patriotisme TNI Angkatan Laut saja, tapi juga menjadi slogan nasional, yang akan mewujudkan keseimbangan kesejahteraan di laut dan di darat. Jalesveva Jayamahe, Bhumi Amca Jayamahe.

Ditulis oleh Puji Laksono

Pimpinan Redaksi BIDIK