PAI UIN Walisongo KKL di Universitas KH Abdul Chalim, Selami Moderasi Agama dan Tantangan PAI di Era Disrupsi
Mojokerto, BIDIK – Program Studi Pendidikan Agama Islam (Prodi PAI) Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo Semarang melaksanakan kegiatan Kuliah Kerja Lapangan (KKL) di Universitas KH. Abdul Chalim (UAC), Mojokerto, Jawa Timur pada Kamis (24/04/2025).

Dr. Fihris, Ketua Prodi PAI UIN Walisongo Semarang, dalam sambutannya menyatakan bahwa dua kali UAC dijadikan sebagai tujuan kunjungan mengingat UAC merupakan Perguruan Tinggi yang sangat luar biasa.
“Universitas ini suaranya luar biasa, universitas pendidikan yang memadukan antara modern boarding dan pesantren dan memiliki jurnal yang sudah scopus,” ungkap Fihris.
Pihaknya berharap, kunjungan tersebut dapat mempererat silaturahmi hingga keduanya bisa saling kolaborasi dalam berbagai kesempatan.
“Melalui kegiatan ini kami harap dapat mempererat silaturahmi di antara kita, dari mahasiswa diharapkan bisa saling mengenal satu sama lain, bisa saling kolaborasi baik dalam ajang perlombaan, menulis atau yang lainnya,” paparnya diamini para peserta.
Sementara itu, Dr. H. Zakaria, M.Pd. selaku Wakil Rektor II UAC dalam sambutannya menyebut, bahwa kegiatan kunjungan ini adalah sebuah pertemuan yang berkah, karena meningkatkan nilai-nilai kolaborasi yang saling memberikan manfaat.
“Ini sebuah pertemuan yang berkah, kita ini belajar bareng, agar bisa saling memberi kontribusi baik dalam program-program kita, saya ucapkan selamat datang ke kampus kami tercinta ini, selamat melaksanakan aktivitas dan tugas, semoga bisa saling memberi kontribusi,” ucapnya.
Sebagai akhir pembukaan, dilaksanakan doa bersama yang dipimpin oleh Prof. Moh. Erfan Soebahar.
Kegiatan KKL yang masih dalam suasana lebaran Syawal ini kemudian dilanjut dengan pemaparan materi, pertama mengambil tema Moderasi Beragama melalui Aswaja dari Universitas KH. Abdul Chalim (UAC) oleh Ustadz Yusuf Suharto dan Tema Tantangan dan Peluang Pendidikan Agama Islam di Era Disrupsi dan juga ol h oleh pemateri dari UIN Walisongo Semarang, Prof. Fatah Syukur.
Dalam penyampaian materi pertama mengenai Moderasi Beragama Yusuf Suharto menyatakan bahwa moderasi adalah keseimbangan dan tidak berlebihan dalam mengekspresikan agama.
“Moderasi beragama itu tidak ekstrem kanan atau kiri, yang tidak berlebihan dalam mengekspresikan beragama,” ujar dosen PAI UAC ini.
Pegiat Lembaga Perguruan Tinggi (LPT) PWNU Jawa Timur ini menjelaskan pentingnya bertindak moderat, dengan mengacu pada sumber Al-Qur’an dan Hadits yang difahami para ulama Ahlisunnah wal Jama’ah. Ia pun kemudian mengutip penjelasan Syaikh Afifuddin, penulis kitab Hidayautul Qur’an, yang menyimpulkan bahwa ada enam cara dan pilihan membalas sebuah kezaliman.
Dinyatakannya bahwa Islam hadir sebagai agama rahmah, yakni syariat kasih sayang dan keadilan sekaligus. Islam tidak menafikan hak untuk membalas, tetapi memuliakan pilihan untuk memaafkan. Allah Maha Tahu bahwa manusia memiliki hasrat untuk mempertahankan kehormatan diri, namun bahwa memaafkan itu jauh lebih menyehatkan batin.
“Dalam Islam, ada enam cara menyikapi kezaliman. Di antara enam itu, nomor pertama tidak boleh kita lakukan, yaitu membalas kezaliman secara berlebihan (al-i’tida’). QS. Al-Baqarah: 190 menegaskan: “Janganlah kamu melampaui batas. Allah tidak menyukai orang yang melampaui batas.” Hal ini tidak dibolehkan, karena melampaui batas.”
“Yang kedua, membalas dengan setimpal. Ini boleh, bahkan diizinkan dalam QS. An-Nahl: 126. Tapi ingat, sabar itu tentu lebih baik. Yang ketiga, membalas dengan ucapan buruk. Ini juga boleh, dengan syarat engkau dizalimi (QS. An-Nisa: 148). Namun, ini bukanlah akhlak ideal.
“Yang keempat, menahan amarah. Kedudukan ini mulai masuk derajat takwa. Inilah al-kazhimina al-ghaizh yakni orang yang bisa mengendalikan kemarahan. Yang kelima memaafkan. Ini lebih mulia lagi. Allah mencintai orang yang bisa ‘aafinaa ‘anin naas, yakni memaafkan sesama manusia. Jika dihubungkan dengan Moderasi Beragama, nomor empat dan lima ini masuk di dalam kategorinya.”
“Keenam, membalas keburukan dengan kebaikan. Ini maqam wali, posisi spiritual tertinggi. Allah menyebut orang-orang ini sebagai muhsinin, orang-orang yang berbuat baik. InnaLlaha yuhibbul muhsinin. Dari enam pilihan tersebut, minimal kita bisa berlatih berada di tingkat kelima, memaafkan untuk menjaga hati agar tetap bersih dan jiwa tetap sehat.
Kemudian materi kedua dengan tema “Tantangan dan Peluang Pendidikan Agama Islam di Era Disrupsi” dengan pemateri dari Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah UIN Walisongo dijelaskan bahwasanya semakin berkembang zaman maka semakin maju pula perubahannya.
“Semakin berkembangnya zaman maka semakin banyak pula kemajuan yang terjadi. Seperti hal nya yang dicontohkan adalah dalam hal les privat yang dulunya memiliki kantor atau tempat kursus tersendiri di zaman sekarang les privat bisa diikuti melalui aplikasi ruang guru tanpa harus mendatangi tempat kursus, “ujarnya.
Pria asal Kudus ini juga menjelaskan bahwasanya seiring semakin majunya perkembangan teknologi, pendidikan banyak yang menerapkan sistem blanded, yaitu sistem yang memadukan antara online dan offline serta pendidikan dengan bentuk pedagogik akan sulit ditemui di masa yang akan datang.
“Bisa jadi apa yang dipelajari dalam kampus terutama dalam bentuk pedagogik itu tidak dijumpai lagi nanti, karena kita akan mengalami perkembangan lain yang lebih modern di masa depan,” ujarnya yang diamini para dosen UIN Walisongo, dan pimpinan UAC yang hadir antara lain Dr. Zakaria, M.Pd. selaku Wakil Rektor, dan Dr. Ammar Zaenudin, M.Pd., selaku Wakil Dekan Tarbiyah, serat Kaprodi PAI UAC, Dr. Juli Amaliya, M.Pd. dan segenap dosen dan para mahasiswa.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Pendidikan Agama Islam (PAI) memiliki tantangan dan peluang di era disrupsi digital dan untuk menghadapi tantangan tersebut mahasiswa diharapkan mampu lebih selektif dalam menyaring informasi keagamaan yang tersebar di tengah masyarakat. (nn)